![]() |
Ondel-ondel di Gereja Servatius Kampung Sawah (Randy/detikTravel) |
Rahasia itu pun terungkap lewat Wisata Toleransi Kampung Sawah yang diadakan oleh komunitas Koko Jali pada Sabtu pekan lalu (23/2/2019). Di mana hal itu dapat ditemukan lewat cerminan masyarakat dan para pemuka setempat yang saling berbeda, tapi toleran.
Sejarah singkat, dahulu pada abad ke-19 Kampung Sawah masih begitu tertutup dan didiami oleh orang masyarakat asli Betawi. Kala itu, animisme dan agama Islam telah hadir di sana.
"Tahun 70-an masih identik dengan pribumi (Kampung Sawah - red). Dulu disebut kampung kristen karena ada kebun Belanda," ujar Majelis Pengurus Harian Gereja Kristen Pasundan Kampung Sawah, Hiskia Ekatana Dani.
Pada 16 Juni 1874, berdiri lah GKP Kampung Sawah. Nilai-nilai budaya Betawi, Sunda dan Jawa pun terangkut ke dalamnya. Inilah gereja pertama yang ada di Kampung Sawah.
Keragaman itu pun kian bertambah dengan masuknya agama Katolik yang merupakan pecahan dari GKP Kampung Sawah. Hal itu ditandai dengan dibaptisnya satu orang Kampung Sawah yang asli Betawi pada tahun 86, diikuti oleh 18 orang lainnya.
Dari situ, cikal bakal agama Katolik terbentuk dan berujung dengan didirikannya Gereja Santo Servatius pada tahun 1993 yang selesai pada tahun 1996. Unsur Budaya Betawi pun berakulturasi dengan agama Katolik.
Hal itu pun diamini oleh Matheus Nalih Ungin, selaku Majelis Paroki Servatius Kampung Sawah. Menganut agama Katolik, tak lantas membuatnya lupa akan akarnya. Hal itu pula yang diyakini oleh tiap warga Kampung Sawah, apapun agamanya.
"Orang-orang yang berbudaya adalah orang-orang yang memiliki peradaban, berarti sejak ratusan tahun lalu warga Kampung Sawah udah beradab. Gotong royong itu sudah biasa, menghormati agama sudah biasa.
Oleh sebab itu, warga Kampung Sawah lintas agama sering mengadakan kumpul bareng untuk membahas kehidupan bermasyarakat di sana. Dengan duduk bareng, perbedaan itu pun bisa diatasi.
"Menghidupinya konsep ngeriung bareng. Ngomingin Kampung Sawah, kearifan lokal. Agama urusan individu, tapi masyarakat Kampung Sawah urusan kita bersama," ujar Nalih.
Hal senada juga diungkapkan oleh Ustaz Nur Ali Akbar selaku Ta'mir Masjid Al Jauhar Yasfi. Perlu diketahui, lokasi masjid ini berdiri persis di samping GKP Kampung Sawah yang juga berdiri tak jauh dengan Gereja Servatius.
"Kesadaran semua orang Kampung Sawah, terutama orang asli yang merasa perlu menjaga. Modal utama adalah kestabilan. Kedua, tokohnya juga yang masih ikut aktif untuk meredam gesekan yang ada di bawah. Antar tokoh ini komunikasinya lebih baik lagi," ujar Uztaz Ali.
![]() |
Ustaz Ali sekaligus Ta'mir masjid (Randy/detikTravel)Ustaz Ali sekaligus Ta'mir masjid (Randy/detikTravel) |
Baginya yang lahir dan besar di Kampung Sawah, mendengar bunyi lonceng gereja hingga lantunan lagu puji-pujian adalah hal biasa. Umat Islam di Kampung Sawah pun turut aktif meredam gesekan yang nyatanya banyak datang dari luar.
"Sebelum sesuatunya lebih besar kita udah komunikasi lebih dulu. Sebagian besar tantangan kita dari luar. Dulu gereja sini pakai budaya Betawi orang luar marah, karena Betawi identik dengan Islam. Biasa saja bagi kita," ujar Uztaz Ali.
Menurut Uztaz Ali, ada beberapa alasan mengapa isu Sara atau intoleransi bisa berkembang. Salah satunya lewat inklusifitas agama yang tak pernah mengenal perbedaan.
"Kalau misalnya di tempat lain ada kegiatan intoleransi, saya yakin karena di sana terbiasa berbeda lalu merasa terancam, lalu ada SARA," ujar Uztaz Ali.
Dari yang dahulu menyandang predikat kota intoleran nomor 2 tahun 2015, kini di tahun 2018 Bekasi masuk peringkat 6 kota toleran menurut Setara Institute. Sekiranya di tahun yang panas ini, traveler bisa belajar banyak untuk menyikapi perbedaan seperti masyarakat Kampung Sawah yang hidup rukun dan guyub lewat komunikasi dan rasa saling mengerti.